Laman

Rabu, 22 Mei 2013

Partai Lagi, Lagi-lagi Partai

Belakangan media massa tak henti-hentinya memberitakan kasus suap impor daging sapi, yang menyeret mantan presiden P*S. Sebagai partai dakwah, sungguh pemberitaan itu membuat publik kaget, belum lagi terungkap nama wanita cantik. Kali ini aku tidak akan membahas tentang seluk beluk masalah tersebut, apalagi tentang wanita dibalik beliau. Biarlah media yang cukup membahasnya.

Sudah menjadi rahasia publik bahwa P*S merupakan partai para ikhwah. Partai yang mengusung kejujuran dan kepedulian. Aku masih ingat awal-awal mulai mengenal partai ini. Dulu hanya "orang-orang" tertentu yang bisa menjadi kadernya. Pada awal tahun 2008, aku mulai jatuh cinta dengan partai ini semenjak aku ikut ngaji di Jakarta bersama dengan teman-teman, Halaqoh, begitu kami menyebutnya. Sebuah perkumpulan yang orang-orang yang berusaha untuk mencharge batin, belajar agama, sosialisasi serta "berharoki (berpartai-red)". Kami dibimbing oleh seorang murrobiyah yang luar biasa, sosok panutan, apa yang keluar dari lisan beliau sungguh membuat hati kami (terutama aku) untuk selalu bersemangat menegakkan agama-Nya.
Selama berhalaqoh tak lupa beliau selalu memberikan pesan tentang pentingnya kita berjamaah, berdakwah secara terorganisir melalui partai. Bukan berarti beliau memaksakan kepada kami. Beliau selalu memberikan pengertian-pengertian bahwa dengan ada partai dakwah di pemerintahan/legislatif, syariat Islam akan dipertimbangkan dalam membuat kebijakan atau undang-undang. Sehingga aku pun mulai simpatik. 
Setiap ada acara bakti sosial yang selalu kami selenggarakan, tak lupa bendara partai selalu menyertai. Meskipun kami tak ada sumbangan dari partai, tapi kami bekerja dengan tulus, tanpa pamrih, sebut saja ini adalah jalan dakwah. Selain membantu masyarakat sekitar yang kurang mampu, juga mensosialiasikan bahwa partai ini begitu dekat dengan rakyat. Tak heran jika ada acara-acara partai, semisal menghadiri Milad Partai, antusiasme masyarakat begitu terlihat nyata, meskipun harus bangun pagi-pagi dan  hanya mendapat nasi kotak, tak mengurungkan mereka untuk ikut meramaikan. Dari anak-anak sampai ibu-ibu yang sudah sepuh tak mau ketinggalan. Benar-benar kader yang loyal. Hmmmm...jadi ingat saat aku harus berdebat dengan seorang teman tentang perlunya berpartai (dakwah). Ya, dulu aku masih begitu polos, apa yang aku lihat dan dengar saat itu hanya baik-baik saja, sedangkan di sisi teman ku, dia tetap tak setuju berpartai membawa-bawa nama islam. Yup, semua itu pilihan. Baru sekarang aku mengerti apa yang dia maksud.  

Dengan kejadian belakangan, sungguh membuat hati ku miris. Bagaimana para kader-kader yang loyal ini harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari pihak luar partai. Karena hanya perilaku beberapa Qiyadah yang diisukan melenceng dari visi awal, kerja keras mereka seolah-olah sia-sia belaka. 
Sebagai "mantan" kader, tentu aku paham perasaan teman-teman yang benar-benar ikhlas bekerja untuk partai (dakwah-red), tanpa ada imbalan "materi" yang sepadan. Oke, tidak semua orang mengukur segala sesuatu dengan benda, tapi pasti ada kekecewaan di hati mereka.
Nah, di saat seperti ini ada hal perlu digarisbawahi, yaitu KEIKHLASAN. Bekerja dengan hati, biar orang lain berbicara seperti apa, yang terpenting apa kata Allah, MardhotiLLah, bentuk pengabdian seorang hamba. Rasa sesal pun kandas.
Panas setahun terhapus dengan hujan sehari....Usaha yang dilakukan bertahun-tahun sepertinya hilang begitu saja. Ah, tak apa, bukankah Allah selalu melihat proses kita dalam berdakwah. Hasil? Mari kita serahkan kepada Illahi Robbi.

"Dakwah itu seperti gerbong kereta, apakah kita ikut di dalamnya atau tidak, kereta akan terus melaju meskipun tanpa kita" ~

Selasa, 14 Mei 2013

Belajar dari Bapak Moh. Hatta

Allah selalu punya cara tersendiri untuk memahamkan hamba-Nya., bisa dengan cobaan yang menyayat hati atau melalui kisah orang lain. Tentu saja Allah menghendaki yang terbaik untuk semua hamba-Nnya. 
Contoh kecil misalnya rencana yang sudah kita susun rapi ternyata harus berubah seratus delapan puluh derajat dalam waktu sekejap. Ada hikmah dibalik kegagalan tersebut. Meskipun sebagai manusia belum sepenuhnya sadar terhadap hikmah tersebut, bukan berarti kegagalan tersebut tanpa maksud apapun. Allah adalah sutradara terbaik dan skenario langit selalu lebih baik.
Teringat dengan kisah Bapak Moh. Hatta saat beliau lulus sekolah dari Bukitinggi. Sejak awal beliau sudah diarahkan oleh keluarga agar melanjutkan pendidikan agama ke Kairo dan Tanah Suci, mengingat keluarga besar beliau merupakan salah satu ulama di Bukitinggi, dan bermaksud untuk melanjutkan tradisi di keluarga besarnya. Belajar ilmu agama karena yang mampu memperbaiki akhlaq masyarakat adalah agama...
Namun, takdir berkehendak lain. Langit mempunyai skenario sendiri. Moh. Hatta lebih memilih untuk melanjutkan pendidikannya ke Betawi (Jakarta). Sebuah ucapan dari salah satu anggota keluarga terhadap keputusan tersebut, "...manusia sudah seharusnya berikhtiar, tapi semua itu kembali ke takdir...". Dan memang setiap manusia tunduk terhadap takdir. Anggap saja semua peristiwa yang terjadi adalah takdir baik, tak ada takdir buruk.
Begitulah cara Allah mengarahkan Moh. Hatta untuk menjadi salah satu pahlawan kemerdekaan bangsa ini. Dia  mempunyai cita-cita mulia dan berusaha untuk mewujudkannya dengan segenap kemampuan yang dia miliki. Beruntung, keluarganya bisa menerima keputusan tersebut. Memang sudah seharusnya keluarga mampu mendukung dan memberikan kepercayaan terhadap putra-putrinya untuk meraih apa yang dicita-citakan.
Dia adalah seorang motivator, cendekiawan, tegas dan tentu saja seseorang yang mempunyai sikap...seorang tokoh pergerakan nasional sejati.
Sebuah impian yang selalu dia perjuangkan dengan cara atau strategi yang cantik. Plan A, B,C, sampai Z dia pikirkan matang-matang dan tak mudah terhasut oleh pendapat orang lain. Dengan tulisan-tulisan yang mumpuni di berbagai majalah saat itu, ia mencoba mendidik masyarakat Indonesia dengan bijak dan cerdas. Sebelas tahun di Negeri Belanda ia mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi, filsafat, hukum Tata Negara, hukum Internasional, dsb.
Caranya menghadapi permasalahan, baik dengan kolonial ataupun sesama tokoh pergerakan (contoh Ir. Soekarno) dengan bijaksana dan tentu saja tanpa mengedepankan amarah/emosi. Dengan tulisan-tulisannya ia berjuang dan melalui motivasinya kepada kader-kader agar selalu tenang dalam menghadapi banyak cobaan, karena pada dasarnya setiap permasalahan akan memperkuat iman dan batin.
Sudah bisa dipastikan skenario langit memang jalan yg terbaik, toh seandainya Moh. Hatta tak berani untuk mengambil keputusan yang berseberangan dengan kehendak keluarganya, lebih memilih untuk melanjutkan sekolahnya ke Betawi-Belanda, kondisi bangsa ini mungkin akan berbeda. 
Keputusan Allah selalu yang terbaik. Dan kisah Bapak Moh Hatta adalah salah satu miniatur kecil dari keputusan-keputusan besar-Nya.

"......tetapi menurut pendapatku tidak ada yang tetap di dunia ini. Semuanya dalam perubahan, apa yang tidak bisa sekarang, di kemudian hari bisa terjadi. Sebab itu aku tetap pada pendirianku" ~Berjuang dan Dibuang